Jumat, 02 Agustus 2019

Mengembalikan TPG Menghina Guru

Mengembalikan TPG Menghina Guru
Oleh : Dudung Nurullah Koswara
(Ketua PB PGRI)
Bagi Saya sangat tidak elok mendengar ada kisah sejumlah guru harus mengembalikan TPG. Sungguh sangat-sangat menyedihkan. Ini menurut Saya adalah “perbuatan” yang sangat tidak menyenangkan bagi profesi guru. Aneh sekali bila ada regim daerah atau birokrasi pendidikan menjadi “sponsor” agar para guru mengembalikan TPG karena diduga ada masalah administrasi. Rhoma Irama menyebutnya terlalu!
Dalam sebuah media beberapa tahun yang lalu Saya katakan “Tolak Pengembalian TPG”. Masalah administrasi guru selesaikan dengan administrasi jangan dengan nominal. Guru sudah terlalu lama jadi korban administrasi di birokrasi pendidikan. Sejumlah kasus malapraktik dibirokrasi pendidikan selalu mengemuka. Selalu ada “makelar” di lingkungan internal birokrasi pendidikan di setiap daerah. Bagai Siluman sulit ditangkap.
Banyak kasus. Sudah sejak lama selalu ada gosip kalau mau jadi kepala sekolah harus ada pelicin. Pepatah gaul mengatakan “Tidak ada asap kalau tak ada gosip”. Bahkan kalau sudah dapat SK selalu ada “ritual” yang menghimpun sejumlah anggaran. Kalau mengurus TPG selalu ada potongan atau dana administrasi yang dikumpulkan pada tokoh Siluman. Bahkan ada sebuah adat buruk para kepala sekolah terbiasa menghimpun anggaran untuk setor pada pihak-pihak tertentu. Kasus faktual apa yang terjadi di Kabupaten Cianjur.
Kasus Cianjur adalah miniatur dan etalase dunia pendidikan di negeri kita. Jelimet birokrasi pendidikan memang wew, bukan wow. Khusus terkait TPG sungguh sangat menyedihan bila para guru harus mengembalikan TPG karena sebuah kesalahan administrasi. Kesalahan administrasi yang dilakukan para guru tidak semata-mata kesalahan para guru. Perlu ada pertangggung jawaban dari pihak lainnya. Misal birokrasi pendidikan, pengawas, kepala sekolah dan bahkan BPK sendiri. Sosialisasi dan informasi terkait administrasi TPG perlu clear dan objektif.
Sejumlah kasus “mengerikan” terkait pengembalian TPG dahulu sering terjadi. Umrah, haji dan sakit lebih dari 4 hari harus mengembalikan TPG. PGRI berjuang dengan segala cara. Akhirnya Kemdikbud memberikan toleransi umrah dan haji yang pertama TPGnya tidak dipotong atau tidak harus mengembalikan. Bagi guru yang sakit kurang dari 14 hari TPGnya tidak dipotong. Ini baru lebih baik dan humanis. Gerakan memotong TPG dan anjuran mengembalikan TPG adalah tak elok.
Masih terngiang kuat dalam telinga dan terasa jleb di hati Saya saat sahabat juang di PGRI bernama Noneng seorang guru berprestasi di SMPN 10 Kota Sukabumi TPGnya raib. Sangat tragis dan menyedihkan. Mengapa? Kisahnya adalah saat Ia hamil 3 bulanan dan berlari-lari di atas rel kereta api demi melerai pelajar yang akan tawuran. Ia bekerja di luar ruang kelas, berlari, teriak dan mencegah adanya korban tawuran. Apa yang terjadi kemudian?
Karena Ia berlari dan berusaha keras melerai rencana tawuran pelajar lupa Ia sedang hamil. Ia keguguran dan harus istirahat beberapa hari di rumah sakit. Sungguh tragis! Anak kandung buah hati tercinta keguguran. Ia terbaring di rumah sakit. Plus TPG pun hilang. Sungguh tragis. Ia bekerja melayani anak didik demi negara dan bahkan rela berkorban berdarah-darah karena keguguran malah TPG hilang. Adilkah seorang pejuang pendidikan yang berjuang melayani anak bangsa sampai sakit malah TPGnya tidak didapatkan? Idealnya menurut Saya malah TPGnya harus dobel. Mengapa? Karena Ia sudah bekerja melayani anak bangsa melintasi tugas formalnya.
Satu lagi kasus di Kota Bekasi. Seorang guru bernama Bapak Adi meninggal dunia. Ia harus mengembalikan TPG. Ahli waris yang kehilangan pelindung dan penanggung jawab nafkah keluarga bukannya mendapat bantuan dari negara malah harus mengembalikan TPG. Tragis kan? Itu kasus lama dari gagalnya tatakelola administrasi terkait TPG guru. Bila seorang guru sakit dan sudah puluhan tahun mengabdi pada negara sebagai pelayan di pendidikan. Wajar bila beberapa bulan mendapatkan “service” dari negara dalam bentuk TPG. Ia sakit masih sebagai aparatur negara.
Mengembalikan TPG bagi Saya pribadi sangat lucu mengiang di telinga. Kecuali guru yang benar-benar diluar batas kewajaran dan sangat melawan aturan profesi sebagai guru. Bila hanya masalah administrasi yang sedikit bolong tambal saja. Ban mobil pun ada tambal tubles. TPG adalah tunjangan profesi guru. Selama Ia masih menjadi guru dan sudah punya sertifikat pendidik berikan saja dengan syarat administrasi yang wajar. Hindari administrasi TPG yang jelimet, lambat dan ada potongan administrasi. Walau pun jumlah potongan atas nama “administrasi” kecil tetap saja tidak halal dan menyalahi aturan.
Para guru dan kepala sekolah harus dimuliakan. Lancarkan berbagai kepentingan administrasi dan finansialnya. Mereka adalah pelayan masyarakat terdekat mewakili wajah pemerintah dalam bidang pendidikan. Meraka adalah pelayan harian bidang pendidikan yang sangat membantu mesyarakat. Betapa repotnya dunia kehidupan kita tanpa guru dan kepala sekolah. Jutaan anak Indonesia akan terlantar dan masa depannya akan suram. Guru dan kepala sekolah adalah kunci sukses masa depan bangsa. Jokowi dalam visi Indonesia 2019-2024 prioritas pertama adalah SDM. SDM identik dengan tugas guru dan para kepala sekolah sebagai menajer pendidikan.
Pengangkatan guru dan pelantikan kepala sekolah adalah sebuah proses sakral. Mengapa sakral? Karena mereka adalah penentu masa depan bangsa. Bukankah saat Jepang hancur hanya guru dan para kepala sekolah yang menata ulang SDM bangsa Jepang? Seleksi guru dan kepala sekolah harus clear dan merit. Utamakan PDLT bukan hanya kedekatan dan ketebalan dompet. Pelantikan kepala sekolah dan penerimaan calon guru adalah proses menentukan. Jangan sampai sebuah pengangkatan dan pelantikan kepala sekolah adalah sebuah prosesi biasa-biasa saja. Tidak demikian!
Saat pelantikan di daerah, misal pelantikan para kepala sekolah SDN/SMPN. Pelantikan itu bukan prosesi awal para kepala sekolah sebagai “sanderaan” birokrasi dan kepala daerah. Hakekatnya para kepala sekolah adalah pejabat pendidikan yang harus dimuliakan dan dilayani para kadisdik dan para kepala daerah. Bukan malah sebaliknya para kepala sekolah manut-manut lutut pada kepala dinas atau kepala darah. Kepala daerah memang pemberi SK tetapi tetap pada hakekatnya Ia melayani rakyat bidang pendidikan melalui para kepala sekolah.
Menarik bisikan Raden Caca Danuwijaya di telinga Saya. Ia mengatakan, “Melihat pelantikan para pejabat dan kepala sekolah oleh kepala daerah adalah melihat prosesi yang mulia, mereka akan mengabdi dengan baik. Kitab suci al quran ada di atas kepala mereka”. Namun menurut Raden Caca Danuwijaya, “Bila pelantikan itu adalah sebuah ritual formalistik buah politik manut maka melihatnya sangat kasihan, bagai sepasukan orang yang sedang disandera dan dipasung kemerdekaannya oleh SK kepala daerah”. Pendapat Raden Caca Danuwijaya menarik dicermati.
Simpulannya mari kita semua muliakan para guru dan kepala sekolah sebagai orang yang bertanggung jawab memperbaiki bangsa. Mari kita dorong mereka lebih baik, profesional, berprestasi dan dedikatif terhadap siapa yang dilayaninya. Mari pemerintah pusat, daerah dan birokrasi pendidikan melayani mereka. Bukan mereka melayani para kepala daerah dan para kepala dinas. Mereka pada hakekatnya adalah “majikan” para kadisdik dan kepala daerah. Jangan terbalik. Secara struktur birokratik memang mereka mendapatkan SK dari kepala daerah. Namun faktanya mereka adalah guru. Guru dari siapa pun di negeri ini.

sumber: https://www.facebook.com/dudung.koswara.7/posts/10212841454505885

0 komentar :